Kamis, 19 Juni 2014

Nilai Tukar | Mengkhawatirkan, Utang Luar Negeri Swasta Melonjak 100% sejak Desember 2009 Fundamental Rapuh Tekan Rupiah

JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali tertekan hingga menyentuh 12.000 per dollar AS atau mendekati level terendah dalam empat bulan terakhir. Tekanan terhadap mata uang RI itu dinilai akibat belum kokohnya faktor fundamental ekonomi Indonesia, terutama ancaman defisit transaksi berjalan, utang luar negeri swasta jatuh tempo, serta meningkatnya impor migas dan pangan. Selain itu, beberapa faktor eksternal turut menebarkan sentimen negatif bagi rupiah, seperti situasi geopolitik global dan ekspektasi bahwa bank sentral AS (The Fed) bakal menaikkan suku bunga menyusul laju inflasi yang relatif tinggi di negara adikuasa itu. Menanggapi depresiasi rupiah itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Bambang PS Brodjonegoro, di Jakarta, Rabu (18/6), menjelaskan pelemahan tersebut disebabkan masalah fundamental perekonomian Indonesia. “Faktor fundamental karena current account (neraca transaksi berjalan) kita masih defisit,” ujar Bambang. Defisit transaksi berjalan kuartal I-2014 sebesar 4,2 miliar dollar AS atau 2,06 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia sebelumnya memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan hingga akhir 2014 berkisar 25 miliar dollar AS. Pada kuartal II-2014, menurut Bambang, defisit akan meningkat lagi akibat defisit neraca perdagangan dan arus modal keluar atau capital outflow karena banyak perusahaan melakukan repatriasi. “Jadi, wajar kalau orang mengambil posisi terhadap rupiah agak lebih lemah dibandingkan mata uang lain,” jelas dia. Pada perdagangan di pasar spot antarbank, Jakarta, Rabu (18/6) sore, rupiah berada pada posisi 11.988 per dollar AS, terkoreksi 96 poin dari posisi penutupan hari sebelumnya yang 11.892 per dollar AS. Bahkan, rupiah sempat menyentuh level 12.015 per dollar AS. Posisi ini merupakan level terendah rupiah dalam empat bulan. Terakhir, rupiah berada di posisi 11.980 pada 13 Februari 2014. Sementara berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, rupiah kemarin berada pada 11.978 per dollar AS, melemah dibandingkan posisi hari sebelumnya yang 11.863 per dollar AS. Ekonom senior, Anton Gunawan, menambahkan faktor lain yang menekan kurs rupiah, selain defisit transaksi berjalan, adalah pengumuman defisit neraca perdagangan yang masih tinggi. Neraca perdagangan Indonesia pada April 2014 mengalami defisit 1,96 miliar dollar AS, setelah pada bulan sebelumnya surplus 0,67 miliar miliar dollar AS. Kinerja neraca perdagangan tersebut dipengaruhi oleh neraca perdagangan nonmigas pada April 2014 yang berbalik dari surplus menjadi defisit meskipun defisit neraca perdagangan migas tercatat lebih rendah dibandingkan Maret 2014. Secara kumulatif, pada Januari–April 2014, neraca perdagangan masih defisit 894 juta dollar AS. Ekonom Bank BNI Tbk, Ryan Kiryanto, berpendapat tekanan terhadap rupiah kali ini disebabkan oleh utang luar negeri perusahaan swasta yang jatuh tempo pada akhir semester I-2014 (Juni–Juli) dan peningkatan impor migas serta pangan olahan. Ryan mengatakan seharusnya pengusaha swasta membeli mata uang AS secara mencicil, jadi tidak sekaligus membeli dollar AS untuk membayar utang luar negeri yang sudah jatuh tempo. “Inilah yang membuat nilai tukar dolar AS naik,” kata dia di Batam, Rabu. Berdasarkan data BI, Mei 2014, utang luar negeri (ULN) pemerintah dan swasta terlihat naik tajam. Pada Desember 2009, total ULN masih 173 miliar dollar AS, dan pada Maret 2014 melesat menjadi 276 miliar dollar AS. Apalagi ULN swasta semakin sangat mengkhawatirkan karena hanya dalam tiga tahun lebih tiga bulan meningkat 100 persen. Pada Desember 2009, masih 74 miliar dollar AS, sedangkan Maret 2014 melesat menjadi 146 miliar dollar AS. Peningkatan ULN tersebut juga mengancam rupiah dan perekonomian karena debt service ratio (DSR) atau rasio utang sudah mencapai 46,31 persen pada Mei 2014, padahal batas aman yang maksimal DSR itu 44 persen. Ryan menambahkan kurs dollar AS makin menguat lantaran melonjaknya impor pangan olahan untuk mengantisipasi kebutuhan puasa dan Lebaran, demikian pula dengan impor bahan bakar minyak. Faktor Eksternal Analis Monex Investindo Futures, Zulfirman Basir, menyatakan mata uang AS akan tetap menguat terhadap mata uang RI menyusul tingkat inflasi AS yang naik sehingga memunculkan ekspektasi di pasar uang bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga. Akibatnya, investor waspada menjelang publikasi hasil pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada Kamis pekan ini waktu setempat. “The Fed juga diprediksi akan kembali melanjutkan kebijakan pengurangan stimulus keuangan (tapering off),” imbuh dia. Menurut Zulfirman, memburuknya situasi di Irak dan Ukraina juga telah meningkatkan risiko geopolitik dunia sehingga turut memberikan sentimen negatif pada rupiah. “Konflik di Irak akan mendorong harga minyak dunia naik, sementara di Ukraina akan mendorong harga gas juga naik. Kondisi itu membuat investor di dalam negeri cemas dengan beban subsidi BBM yang akan menggerogoti kesehatan anggaran negara dan memperbesar defisit neraca transaksi berjalan Indonesia,” jelas dia. Wamenkeu menambahkan faktor eksternal lain yang perlu diantisipasi adalah pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Dari laporan Badan Pusat Statistik, Tiongkok merupakan negara utama tujuan ekspor Indonesia. Pelambatan itu dinilai akan menurunkan permintaan ekspor Indonesia. Secara tahunan, ekspor Indonesia pada Januari–April 2014 sebesar 58,59 miliar dollar AS atau turun 2,63 persen, sementara impor sebesar 59,49 miliar dollar AS atau turun 4,23 persen. SB/YK/Ant/WP http://www.koran-jakarta.com/?14424-fundamental%20rapuh%20tekan%20rupiah

Tidak ada komentar: